Perkembangan Filsafat Islam
Perkembangan Filsafat Islam
Pendahuluan
Kedudukan
filsafat Islam dalam perjalanan sejarah terus menerus menjadi perdebatan yang
tiada habisnya, setiap celah memungkinkan untuk melihat filsafat Islam dari
berbagai sisi. Minimnya bukti-bukti historiografi melahirkan beragam pemikiran,
kecenderungan pertama misalnya menafikan keberadaan filsafat Islam. Filsafat
Islam dianggap tak pernah ada dan tak ada dalam proses perkembangan keilmuan di
dunia, apalagi kemajuan zaman saat ini sama sekali tidak dapat memiliki kaitan
budaya dengan Islam dan ajaran-ajarannya. Maka, Barat dalam arti “simbol"
kemodernan dan kemajuan ilmu pengetahuan dapat dengan "tenang” beranggapan
bahwa Barat sebagai pusat keilmuan saat ini merupakan peradaban yang terlahir
dari proses kreativitas pikir bangsa Barat dan pergulatan zaman mereka sendiri
sejak masa dahulu kala.
Kecenderungan
kedua dalam melihat filsafat Islam adalah mengakui keberadaan filsafat Islam
sebagai sebuah "jembatan" yang menghubungkan antara kemajuan di Barat
dengan kemajuan keilmuan di Yunani. Golongan kedua ini dengan enteng
beranggapan bahwa filsafat Islam adalah sebuah hibriditas. Hibriditas adalah kecenderungan
untuk mengambil berbagai unsur untuk menjadi bagian dari dirinya, artinya
filsafat tidak dan bukan berasal dari Islam tetapi dipaksa- paksakan’ menjadi
bagian dalam Islam. Atau dengan kata lain, filsafat Islam merupakan pemikiran
luar yang diadopsi oleh Islam.
Jika dua
kecenderungan penilaian terhadap filsafat di atas terkesan menolak dan kurang
menerima keberadaan filsafat Islam, kecenderungan penelitian ketiga telah
mengakui, menerima dan menyetujui filsafat Islam pernah mewarnai keilmuan di dunia
bahkan pernah mencapai masa keemasannya. Sayang, pendapat ketiga ini seringkali
merupakan pendapat yang digaungkan umat muslim tanpa ragam
proses ilmiah yang jelas dan nyata. Sehingga arah asumsi-asumsinya terkesan
subjektif atau “dituding" subjektif. Subjektif karena terlahir dari
pemikiran umat Islam dan belum tentu diakui oleh intelektual lain di luar
Islam.
Pengertian Filsafat
Dari tata bahasa atau arti katanya,
kata “filsafat” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab “Falsafah” yang
berasal dari bahasa Yunani philo, dan
sophia. Philo berarti cinta, sophia berarti kebijaksanaan atau hikmah (wisdom). Kata sophia tidak
hanya berarti kebijaksanaan atau kearifan saja melainkan meliputi pula
kebenaran pertama, pengetahuan luas, pertimbangan sehat
sampai kepandaian pengrajin bahkan kepiwaian dalam menyelesaikan
masalah-masalah praktis. Dari
segi umum, filsafat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakekat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat mencari apa hakekat, sari atau
inti dari segala sesuatu yang ada ini. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan filsafat itu
sendiri sehingga timbullah berbagai pandangan atau pendapat atau aliran yang
mempunyai kekhususannya masing-masing. Aliran-aliran tersebut di antaranya adalah:
rationalisme yang menekankan pada akal, materialisme
yang menekankan pada materi, hedonisme yang menekankan pada kesenangan,
idealisme yang mengagungkan pada idea dan lain-lain.[1]
Filsafat juga berarti alam
pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat berarti berfikir. Setiap orang pasti
berfikir. Jadi setiap orang pasti berfilsafat. Filsafat dimulai
dari keragu-raguan, sementara agama dimulai dari keimanan. Al-Farabi. Filsuf terbesar sebelum Ibnu Sina mendefinisikan
filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bagaimana hakekat
yang sebenarnya.
Awalnya
filsafat disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) sebab
filsafat seakan-akan mampu menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu atau
segala hal, baik yang berhubungan dengan alam semesta, maupun manusia dengan
segala problematika dan kehidupannya. Namun seiring dengan perubahan zaman,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai disiplin
ilmu baru dengan masing-masing spesialisasinya, filsafat seakan-akan telah
berubah fungsi dan perannya. Filsafat awalnya merupakan
identifikasi yang diberikan untuk ilmu-ilmu rasional yang tidak mendasari diri
pada wahyu. Namun, seiring dengan perkembangan intelektualitas di dunia dan di
kalangan muslim, filsafat menjadi spesialisasi keilmuan tersendiri. Tetapi
sesungguhnya seperti sebuah paket intelektual Islam, filsafat merupakan hasil
olah disiplin keilmuan dengan pergumulannya bersama disiplin keilmuan lainnya.
Disamping selaku penghubung
antara disiplin dengan ilmu pengetahuan, filsafat sanggup memeriksa,
mengevaluasi, mengoreksi dan lebih menyempurnakan prinsip-prinsip dan asas-asas
yang melandasi berbagai ilmu pengetahuan itu. Hal ini karena filsafat adalah
ilmu yang tak terbatas.
AL-KINDI
Al-Kindi adalah seorang
filosof muslim keturunan Arab, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub ibn lshaq ibn
al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy’as ibn Qais al-Kindi. Sebutan
al-Kindi dinisbahkan pada Kindah, kabilah terkemuka pra-lslam yang merupakan
cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Sedangkan ayahnya lshaq ibn al-Shabbah adalah seorang gubernur
Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi (775-785 M) dan al- Rasyid (786-809 M).
Tahun kelahiran dan wafat Al-Kindi memang tidak diketahui pasti, namun
diperkirakan ia lahir pada tahun 185 H/ 801 M, hidup semasa pemerintahan
Daulah Abbasiyah.
Pendidikannya bermulai di Basrah dan dilanjutkan di Baghdad. Beliu adalah
seorang tabib, ahli binatang dan filosof. Al-Kindi mengalami kemajuan pikiran
Islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, bahkan ia termasuk
pelopornya. Bermacam-macam ilmu telah dikajinya, terutama filsafat, dalam
suasana yang penuh pertentangan agama dan mazhab, dan dibanjiri oleh paham
golongan Mutazilah serta ajaran-ajaran Syiah. Disamping ahli dalam
ilmu agama, beliau juga ahli dalam ilmu kedokteran, filsafat, matematika, logika, geometri,
aritmatika, fisiologi dan astronomi. [4]
Pemikiran
Al-kindi cukup besar dan mendasar terutama di bidang filsafat, fisika,
metafisika, dan etika. Ia berusaha mempertemukan antara filsafat dan agama. Menurut
Al-Kindi : “Filsafat adalah ilmu tentang hakekat kebenaran sesuatau menurut
kesanggupan manusia, yang mencakup ilmu tentang ketuhanan, keesaan, keutamaan,
semua yang berguna dan cara memperolehnya, serta cara menjauhi perkara-perkara
yang merugikan”. Jadi tujuan seorang filosof bersifat teori, yaitu mengetahui
kebenaran, dan bersifat amalan yaitu mewujudkan kebenaran tersebut dalam
tindakan. Semakin dekat kepada kebenaran semakin dekat pula kepada
kesempurnaan.
AL-RAZI
Nama
al-Razi sangat dikenal di kalangan intelektual Eropa, dia dikenal dengan nama
Rhazes. Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi ini lahir di
Rayy, dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Al-Razi adalah seorang
dokter, filosof, kimiawan dan pemikir bebas, bahkan menurut riwayat, al-Razi
menguasai teknik musik baik teori maupun praktik, dan seorang alkemi sebelum
belajar formalnya di bidang kedokteran. Pada masa mudanya, Al-Razi pernah
menjadi tukang intan, penukar uang dan seorang pemain musik kecapi tetapi
ghirah belajarnya yang tinggi membuatnya menjadi seorang ahli dalam berbagai
bidang.
AL-FARABI
Abu
Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh Al-Farabi atau yang biasa
dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab,
Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 258 H/ 870 M. Beberapa riwayat
mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang Turki tapi ada juga yang mengatakan
bahwa ayahnya seorang Persia yang kemudian menjadi tentara perang Turki. Karena
pemikiran-pemikirannya mengenai filsafat Yunani sangat memukau, Al-Farabi
sangat dikenal di kalangan intelektual Eropa, mereka menyebut Al-Farabi dengan
Al-Farabius atau Avennaser.[5]
Pada
mulanya ia belajar di negeri tempat kelahirannya. Kemudian ia pindah ke Baghdad
untuk belajar bermaca-macam ilmu pengetahuan seperti logika, filsafat, musik,
matematika, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan bahasa Arab dan sebagainya.
Setelah itu ia pindah ke Harraw, salah satu kota pusat kebudayaan Yunani di
Asia kecil untuk belajar pada Yuhana bin Hailan, seorang Thabib Nasrani. Akan
tetapi tidak lama sesudah itu Al-Farabi kembali lagi ke Baghdad untuk
melanjutkan studinya di bidang filsafat setelah mendalami ilmu logika. Selama
30 tahun lamanya tinggal di kota ini menghabiskan waktunya untuk mengarang,
mengajar, membahas dan mengulas buku-buku yang berhubungan dengan filsafat.
Oleh karena gejolak politik pasa masa itu, Al-Farabi meninggalkan Baghdad
menuju Damsyik, untuk menemui Saifu’l Daulah seorang Khalifah dari Dinasti
Hamdan yang berkuasa di kala itu. Di sinilah ia meninggal dunia pada tahun 339
H./950 M. Pada usia 80 tahun.
Al-Farabi
seorang failosof besar yang amat dalam ilmunya dan amat besar jasanya dalam
mengadakan persiapan bagi kebangkitan filsafat islam.
IBNU
SINA (370-428 H =
980-1036 M)
a.
Riwayat
Hidupnya
Abu Ali Husain ibn Abdullah
ibn Sina lahir pada tahun 980 M di Afshinah, dekat Bukhara (Turkistan). Ayahnya
Abdullah, berasal dari Balkh, ditugaskan untuk memimpin Bukhara dan kemudian
diangkat menjadi gubernur Samanite. Di kota Bukhara inilah, Ibnu Sina
memperoleh pendidikan mudanya, sejak kecil Ibnu Sina telah memperlihatkan
kecerdasan luar biasa. Dalam sepuluh tahun ia telah hafal al-Qur’an dan
mengenal berbagai cabang literatur ilmu. Sejak usianya belum genap tujuh belas
tahun, Ibnu Sina telah menguasai fiqh, matematika, ilmu ukur dan semantik.
Bahkan menurut riwayat, Ibnu Sina mempelajari buku Ocledus, buku mengenai ilmu
ukur dan juga buku-buku mengenai kedokteran. Dan ketika genap delapan belas
tahun, Ibnu Sina telah mempelajari semua ilmu tersebut.[7]
Bila Al-Kindi dan karya-karyanya memperindah istana Khalifah
Al-Mu'tashim Billah dan Al-Farabi dengan pemikiran-pemikirannya menghiasi
istana Saif Al-Dawlah,
Al-Razi mewarnai pemerintahan Mansyur Ibn lshaq, Ibnu Sina menyemarakkan daulah Bani Buwaih.
Masyarakat yang hidup pada masa itu, yaitu pada akhir abad keempat dan awal
abad kelima hijriyah mengenal Ibnu Sina dengan julukan Al-Syaikh.
b.
Karangan-karangannya
Pada usia 20
tahun Ibnu Sina mulai menulis karya ilmiyah. “yang terpenting di antara
karangannya adalah Asy-Syifa’ yang
mengandung Ilmu Logika, Geometri, Fisika, dan Metafisika; kitab Al-Najah sebagai keringkasan dari kitab Asy-Syifa’, kitab Al-Isyarat wal-Tanbihat mengenai logika dan hikmah dan Al-Qanun mengenai kedokteran”.
Selain dari
kitab yang tersebut diatas, ada lagi nama-nama buku karangannya yang sampai
kepada kita seperti kitab Al-Hikmah
Al’Arudhiyyah, Hidayatu Ar-Rais Lil Amir, Risalah Fil Klam ala Al-Nafs
Al-Nathiqah dan lain-lainnya.
c.
Pemikirannya
1. Penciptaan
Alam
Beliau
berusaha menyesuaikan antara fikiran manusia dengan wahyu (antara filsafat
dengan agama). Terjadinya alam ini menurut beliau dengan cara melimpah seperti
limpahan cahaya matahari tanpa mengurangi dirinya sendiri dan sudah menjadi
thabi’atnya.
2. Menganai
Jiwa
Ibnu
Sina berpendapat: Jiwa adalah jauhar yang terdiri sendiri dengan dzatnya, bebas
dari jasad dan berlainan dengan jasad. Ia mengakui pendapat Aristoteles yang
mengatakan baharunya jiwa. Ibnu Sina: Sesungguhnya jiwa shurah/bentuk bagi
jasad. Beliau mengatakan bahwa jiwa terbagi kepada 3 jenis:
a. Al-Nafsu Al-Nabatiah (jiwa
tumbuh-tumbuhan) yaitu: Kesempurnan pertam bai jisim alami yang organis untuk
mengembangkan keturunan, bertumbuh dan untuk makan.
b. Al-Nafsu Al-hayawaniyah (jiwa
hewan) yaitu: Kesempurnan pertama bagi jisim alami yang organis untuk
mengetahui yang juzi’ (bahagian-bahagian, juzu’ dari alam) dan berkehendak
dengan kehendaknya sendiri.
c. Al-Nafsu Al-Inssaniyyah (jiwa
manusia) yaitu: kesempurnan pertama bagi jisim alami yang organis untuk
menggunakan alam sesuai dengan ikhtiar pikirannya, mengambil istimbat dengan
pikirannya untuk mengetahui hal-hal yang kulli (umum, dan abstrak)
3. Pengaruh
binatang-binatang dan falak kepada manusia
Pendapat
Ibnu Sina mengenai manusi dualisme yaitu manusia terdiri dari jasad dan jiwa
(roh) tidak ada hubungan antara jasad dan jiwa pada hakikatnya sebagaimana
jisim-jisim seluruhnya terjadi dari percampuran unsur-unsur dengan perbuatan
binatang. Maka jisim manusia terjadi seperti ini juga, tetapi dengan percampuran
yang seimbang.
4. Wujud
Wujud terbagi kepada 2 bagian yaitu:
a. Wajibul
wujud yaitu wujud yang wajib ada, mustahil tidak ada.
Wajibul Wajib terbagi dua yaitu:
a) Wajibul
Wjub bi zatih yaitu wujud yang ada dengan dzatnya sendiri tanpa bantuan dari
luar dzatnya. Wujud yang seperti ini hanya ada pada Allah.
b) Wajibul
Wjub bi ghairihi yaitu wujud yang wajib ada dengan sebab diciptakan oleh wujud
yang berada di luar dzatnya. Wujud ini disebut “alam” atau ”makhluk”.
b. Mumkinul
wujud yaitu wujud yang mungkin ada, mungkin tidak ada. Kedua-duanya kemungkinan
ini tidak mustahil.
5. Mengenai
Qadha dan Qadar
Ibnu
Sina berpendapat sesungguhnya Qadha ialah ilmu Allah yang meliputi segala yang
mungkin diketahui. Menciptakan dan mengadakannya dan Qadarnya ialah memastikan
adanya sebab akibat, apabila ada sebab pasti ada musabbabnya. Dengan
menyebutkan sebab akibat dan penjelasnnya menampakkan realita hikmah
(kebijaksanan) Ilahi adanya alam ini.
6. Tasawwuf
Ia
memulai tasawwufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati
dan pancaran akal, lalu akal menerima ma’rifah dari akal fa’al. Beliau
berpendapat bahwa puncak kebahagian itu tidak tercapai kecuali semata-mata
perhubungan anatara manusia dengan Tuhannya.
a. Sejarah Kehidupannya
Asy-Syaikh
Al-Imam Al- Hammam Hujjatu Al-Islam
Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Mumamad Al-Ghazali ath-Thusi. Ia lahir pada
tahun 450 H. di Thus, suatu kota di Khurasan (Iran) dan meninggal dunia pada
tahun 505 H. di kota juga dalam usia 55 tahun. Ayahnya seorang sufi yang saleh
yang tidak mau makan kecuali dari hasil usahanya sendiri .Ia meninggal ketika
Al Ghazali masih kecil. Sebelum meninggal sempat menitipkan anaknya bersama
saudaranya Ahmad pada seorang sufi lain untuk mendapatkan pendidikan dan
bimbingan.
Abu
Hamid belajar ilmu figh di negeri asalnya (Thus) kemudian pindah ke Jurjan
untuk belajar pada seorang guru, Abu Nashar Al-Isma’ily. Setelah itu pindah
lagi ke Naaisabur untuk belajar pada seorang ulama besar yang sangat masyhur Imam
Haramain Al-Juwaini. Di sinilah Al-Ghazali belajar bermacam-macam ilmu
pengetahuan yang berkembang pada masa itu, seperti Figh, jadal, mantiq,
filsafat dan sebagainya. Setelah Imam Haramain wafat pada 483 H. Al-Ghazali
berkunjung ke Nizham Al- Mulk di kota Mu’askar. Beliau memproleh penghormatan
dan penghargaan yang luar biasa, sehingga majlisnya merupakan tempat berkumpulnya
para Imam dan ulama.
Al-Ghazali
tidak merasa puas dengan pengetahuan dan kedudukan yang diperoleh. Tetapi
beliau selalu haus untuk mengetahui hakikat segala sesuatu. Semenjak muda, sebelum
berusia 20 tahun, sampai 50 tahun beliau tidak pernah henti-henti mempelajari
dan meneliti segala sesuatu.
b. Karangannya
Dalam kehidupannya di samping
beribadah juga merenung dan memecahkan berbagai macam persoalan yang di hadapi
masyarakat, baik secara lisan maupun tulisan. Justru itulah ia meninggalkan
puluhan buku yang meliputi berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan seperti
figh, tasawwuf, ushul, filsafat, logika, dan sebagainya. Di antara kitab-kitab
Al-Ghazali yang penting adalah :
1. Maqashid al-Falasifah.
2. Tahaful al- Falasifah
3. Al- Mustazhhiri atau
juga disebut Fadhailu ‘I-Bathiniyah
4. Al –Iqtishab fi al- I’ tiqad
5. Ihya ‘Ulum al-Dhalal
6. dll
Oleh
karena banyaknya karangan yang sangat penting isinya, Al-Ghazali digelar dengan
Hujjatu-‘I Islam sebagai imbalan yang
imbang terhadap hasil karyanya.
c. Pemikirannya
Menurut
Al-Ghazali matematika tidak bertentangan dengan agama, baik dari segi positif
maupun negatif. Bahkan ilmu ini berdasarkan bukti nyata yang tidak dapat
dibantah oleh siapa saja yang memahaminya. Hanya saja ilmu tersebut mengandung
dua bahaya. Pertama, orang melihat
ketelitian dan kesempurnaan ilmu itu merasa kagum dan mengira bahwa ilmu para
failosof adalah sangat kuat dan tepat. Akhirnya semua pikiran mereka yang
mengandung kekufuran dan meremehkan ajaran agama diikuti. Karena andaikata
ajaran agama itu benar, tentu saja diketahui oleh para failosuf yang sangat
cerdas dalam ilmunya. Kedua, sebagian oarang awam dari
penganut agama mengira bahwa mempertahankan agama adalah dengan menolak semua
fikiran yang berasal dari para failosuf, kendatipun telah nyata kebenarannya.
Pikiran tentang gerhana juga mereka ingkari dan menggangap berlawanan dengan
islam akibatnya timbullah kebencian terhadap islam dan kecintaan terhaddap
filsafat dalam dada failosuf.
Al-Ghazali sebagai ahli fikir telah
membahas bermaca-macam problema yang telah dikaji oleh para failosuf
sebelumnya, para ahli theologi, bathiniyah, dan lainnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam
ilustrasi di atas bahwa filsafat tidak ruwet seperti yang dibayangkan, tidak
hanya dalam angan-angan tetapi berkaitan dengan kenyataan dan berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari. Artinya, tidak
hanya teoritik tetapi juga
praktik, maka dapat disampaikan manfaat atau faedah mempelajari filsafat
sebagai berikut:
1.
Filsafat
menolong, mendidik, dan membangun diri kita sendiri. Dengan berpikir lebih
mendalam, kita menyadari dan mengalami tentang kerohanian kita. Rahasia hidup
yang kita selidiki justru memaksa kita berpikir, untuk hidup dengan
sesadar-sadarnya dan memberikan isi kepada hidup kita sendiri.
2.
Filsafat
memberi pandangan yang luas kepada kita, hal ini untuk menghindar dari akuisme atau aku sentrisme artinya untuk menghindari dari segala hal yang melihat
dan mementingkan kepentingan serta kesenangan diri sendiri.
3.
Filsafat
memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri (terutama dalam etika)
maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan lainnya seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu
pendidikan, dan sebagainya.
4.
Filsafat
merupakan latihan untuk berpikir sendiri. Kita tidak hanya ikut-ikutan saja
tetapi secara kritis kita menyelidiki apa yang dikemukakan orang. Kita
mempunyai pendapat sendiri, berdiri sendiri dengan cita-cita mencari kebenaran.
5.
Filsafat
memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan
persoalan-persoalan dalam hidup sehari-hari. Dalam filsafat, kita dilatih
melihat dulu apa yang menjadi persoalan, dan ini merupakan syarat untuk
memecahkannya.
Faedah-faedah tersebut di
atas adalah faedah yang langsung bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini menunjukkan berkaitan dengan kehidupan praktis.
Comments
Post a Comment